Rss Feed
  1. Demokrasi Untuk Semua

    Kamis, 05 Januari 2012

    Topik: Pelaksanaan demokrasi di Indonesia

    Demokrasi, kata inilah yang sering digembar-gemborkan oleh negara ini, Indonesia. Semenjak negara ini berdiri, para pendiri negara telah menempatkan paham demokrasi dalam sistem pemerintahannya.” Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat” (Ubaedillah A dan Abdul Rozak. Demokrasi. 2011: 36). Dari pengertian demokrasi secara etimologi, dipaparkan dengan jelas bahwa rakyat memiliki peran utama dalam suatu sistem pemerintahan. Rakyat lah yang memulai, rakyat lah yang menjalankan, dan rakyat pula lah yang memperoleh hasilnya. Paham demokrasi dipilih sebagai paham negara ini dengan tujuan agar penyelenggaraan negara Indonesia sesuai dengan keinginan rakyat, karena paham demokrasi menghendaki rakyat memperoleh kesejahteraan yang setinggi-tingginya. Terutama, paham demokrasi menghendaki agar rakyat mendapatkan kebebasan berpendapat dan beraspirasi demi terciptanya lingkungan yang kondusif dalam kehidupan berwarga negara. Dalam menggunakan paham demokrasi, Indonesia memadukannya dengan ideologi Pancasila sehingga sistem pemerintahan Indonesia menggunakan paham demokrasi Pancasila. Dalam hal ini, pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus sesuai dengan Pancasila, kebebasan demokrasi rakyat dibatasi oleh ideologi negara. 
    Pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak begitu berjalan lancar, senantiasa diwarnai oleh berbagai permasalahan. Permasalahan yang terjadi melibatkan pihak yang dipimpin dengan pihak yang dipimpin atau pemerintah dengan rakyat. Permasalahan yang timbul diantara kedua belah pihak seakan tidak pernah ada akhirnya. Permasalahan pertama, perbedaan pandangan antara pemerintah dengan rakyat menjadi topik besar dari berbagai permasalahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Di suatu saat, pemerintah mengambil suatu keputusan dengan alasan untuk meningkatkan kinerjanya. Namun, keputusan tersebut tidak sejalan dengan pola pikir masyarakat. Apa yang dianggap baik oleh pemerintah, belum tentu dianggap baik oleh rakyat, begitu pula sebaliknya. Salah satu contohnya, belum lama ini DPR membuat suatu keputusan tiap-tiap anggotanya melakukan studi banding ke luar negeri dengan tujuan memperoleh informasi dari negara maju mengenai kemajuan negaranya. Yang kemudian informasi yang telah didapat, dapat diterapkan dan dikembangkan di Indonesia demi kemajuan bangsa dan negara. Dengan anggota DPR yang sangat banyak, tentunya untuk merealisasikan keputusan ini membutuhkan biaya yang sangat banyak dan biaya ini diambil dari anggaran negara. Mungkin bagi pemerintah keputusan ini sangat baik tapi tidak dengan rakyat. Rakyat memiliki anggapan bahwa daripada uang negara yang begitu banyak dihabiskan untuk studi banding anggota DPR ke luar negeri, lebih baik uang tersebut untuk rakyat. Karena, melihat kondisi rakyat Indonesia saat ini, dengan kemiskinan yang meningkat, pengangguran yang meningkat, jaminan kesehatan dan pendidikan rakyat yang masih kurang, dan kesejahteraan rakyat yang masih jauh dari harapan, rasanya uang negara yang dianggarkan untuk studi banding anggota DPR lebih baik dialihkan kepada rakyat yang lebih membutuhkan. Sebelumnya, pemerintah juga pernah membuat keputusan untuk memberikan laptop bagi tiap-tiap anggota DPR dalam rangka meningkatkan kinerja mereka. Tanpa adanya keputusan melakukan studi banding ke luar negeri dan pemberian laptop, sesungguhnya uang negara yang telah diberikan untuk para pemimpin negara ini sudah banyak, mobil dinas, rumah dinas, tunjangan, dan lain sebagainya. Seharusnya dengan sarana dan prasarana demikian saja cukup bahkan lebih dari cukup dalam membantu kinerja mereka. Jika ingin melakukan studi banding ke luar negeri, maka sebelumnya lebih baik mereka melakukan pembenahan terhadap kesalahan masa lalu terlebih dahulu dan mengambil hikmah dari segala permasalahan yang telah terjadi.
    Permasalahan kedua dalam demokrasi, wewenang pemimpin yang sewenang-wenangnya sehingga rakyat menjadi korban. Rakyat memilih langsung siapa pemimpinnya melalui pemilu. Rakyat memilik calon pemimpin yang menurut mereka baik, pemimpin yang mampu menampung aspirasi mereka dan yang mampu merubah keadaan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Rakyat mengaharapkan siapapun yang berdiri sebagai pemimpin mampu mengemban amanah dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, nyatanya banyak pemimpin yang menyalahgunakan amanah dari rakyat. Mereka menggunakan wewenang sewenang-wenangnya. Memberi janji ketika melakukan pawai sebelum menjadi pemimpin, dan melalaikan janjinya setelah menjadi pemimpin. Ketika melakukan pawai untuk memperoleh suara rakyat, para calon pemimpin ini tentunya mengeluarkan biaya yang sangat besar dari kantongnya. Dengan demikian, setidaknya ketika mereka menjadi pemimpin, mereka menginginkan dana atau biaya yang telah dikeluarkan ketika pawai kembali lagi. Berbagai cara dilakukan dan lebih tepatnya mereka melakukan korupsi. Begitu banyak kasus korupsi mewarnai negara ini, hingga membuat negara ini menempati daftar golongan peringkat atas negara terkorup di dunia. Berbagai proyek yang mengatasnamakan demi kemajuan bangsa dan negara dicanangkan oleh pemerintah. Namun, pada pelaksanaannya seringkali proyek tersebut disalahgunakan, terutama dalam hal biaya. Penyalahgunaan biaya mengakibatkan hasil proyeknya menjadi tidak maksimal dan tidak sesuai harapan. Tentunya hal ini akan berdampak buruk pada rakyat. Pandangan rakyat terhadap pemerintah akan semakin buruk dan dapat menganggu jalannya pelaksanaan demokrasi.
    Permasalahan ketiga, rakyat terlalu banyak menuntuk kepada pemerintah. Namun, tidak sepenuhnya rakyat yang salah, karena sebelumnya pemerintah juga telah memberikan janji-janji kepada rakyat. Rakyat menginginkan perubahan yang cepat. Akan tetapi, apa yang terjadi pada negara saat ini merupakan dampak dari apa yang terjadi pada negara ini sebelumnya. Dan untuk memulihkan keadaannya tidak semerta-merta terlaksana dengan cepat, butuh proses untuk merubahnya. Setiap kegiatan yang dilakukan harus terkoordinir dengan sebaik-baiknya dan tidak tergesa-gesa agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Yang berperan untuk mambangun negara ini tidak hanya pemerintahnya, akan tetapi rakyat juga memiliki peran penting. Belum tentu juga segala permasalahan yang dihadapi negara ini diakibatkan sepenuhnya oleh ulah pemerintah.
    Baik pemerintah maupun rakyat, keduanya menginginkan kemajuan bagi bangsa dan negara ini di segala bidang. Terutama, kedua pihak menginginkan negara ini mencapai kesejahteraan yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai itu semua, pemerintah dan rakyat harus saling bekerja sama. Suatu golongan hidup bersama, itu adalah suatu kemajuan. Sedangkan suatu golongan bekerja sama, itu adalah suatu kesuksesan. Oleh karena itu, jika pemerintah dan rakyat menginginkan negara ini maju, maka pemerintah dan rakyat seharusnya mampu menghilangkan keegoisan masing-masing dan menjadi satu tim yang utuh guna melakukan perubahan pada negara ini. Hingga pada akhirnya, demokrasi dalam negara ini mampu berjalan dengan baik dan lancar.
    Referensi:
    Ubaedillah A dan Abdul Rozak. (2011). Demokrasi. Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
        Jakarta. Penerbit PT Prenada Media Group.

  2. Jauh sehingga Ditinggalkan

    Kamis, 27 Oktober 2011

    Tema   : Pelaksanaan Otonomi Daerah yang tidak sejalan dengan tujuan negara.

    Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

    Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun 2004, peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya tentang otonomi daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah memperoleh kebebasan dalam mengatur dan membangun daerahnya. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan indonesia di era reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru. Jika orde baru menerapkan sistem pemerintahannya secara sentralisasi kepada pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini dengan adanya otonomi daerah, sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi. Tujuan diberlakukannya otonomi daerah secara umum yakni agar pembangunan dan pembagian kekayaan alam di setiap daerah merata,  kesenjangan sosial antar daerah tidak mencolok, dan tidak adanya ketimpangan sosial. 

    Otonomi daerah sebenarnya telah dicanangkan pasca proklamasi kemerdekaan dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1945. Akan tetapi, pelaksanaannya masih kurang tepat karena dalam kurun waktu 3 tahun belum ada perintah pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah. Pada masa orde baru, program otonomi daerah juga dicanangkan dengan munculnya peraturan-peraturan yang mengatur otonomi daerah itu sendiri, tetapi tidak sejalan yang diharapkan karena penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Soeharto. Otonomi daerah mulai diberlakukan kembali pasca reformasi setelah lengsernya rezim orde baru.

    Dalam kenyataannya, otonomi daerah yang dalam hakikatnya merupakan suatu tujuan yang sangat baik bagi kemajuan bangsa ini, justru banyak sekali terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaannya, tidak hanya di tingkat pemerintah pusat melainkan di tingkat pemerintah daerah hingga unsur pelaksana lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun pemerintah sering menyuarakan program otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara, namun pada kenyataannya pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia. Berbagai cara dilakukan demi meratanya pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini yang pada kenyataannya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan bahkan nihil. Lalu, apakah ada yang salah dalam konteks otonomi daerah ini?

    Pelaksanaan otonomi daerah yang disalahgunakan mengakibatkan kekecewaan masyarakat daerah setempat. Kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap ketidakpuasan pelaksanaan Otonomi Daerah rata-rata diwujudkan dalam bentuk hal negatif. Salah satu contohnya adalah kekecewaan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah yang tidak sesuai harapan. Beberapa kasus muncul di Papua sebagai akibat kesalahan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, antara lain kasus Freeport dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kasus Freeport adalah kasus mengenai suatu perusahaan tambang yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua, namun tidak berimbas baik bagi penduduk pribumi Papau, justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk pribumi. Sedangkan kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kasus yang menginginkan penduduk pribumi Papua untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara sendiri.

    Pada kasus freeport, pemerintah memberikan ijin kepada PT Freeport untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Papua. Pemberian ijin dalam melakukan kegiatan pertambangan ini merupakan suatu bentuk kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, guna membangun daerahnya. Dalam pemberian ijin ini pemerintah pusat pun terlibat. Adanya suatu industri di suatu daerah harusnya memberikan kemajuan bagi masyarakat sekitar, entah itu industri yang dijalankan bangsa Indonesia itu sendiri maupun bangsa luar. Dalam peraturan UU No. 25 Tahun 1999 Pasal 6 disebutkan “Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut: a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah. b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah”. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa demi kesejahteraan masyarakat sekitar, masyarakat berhak mendapatkan 15% bagian dari hasil yang diperoleh tambang tersebut. Jumlah sekian tentunya bisa membantu mensejahterakan ekonomi rakyat sekitar pertambangan. Namun kenyataannya, penduduk sekitar merasa dirugikan. Dalam suatu berita dimuat reaksi penduduk Papua terhadap ketidakpuasannya. Pada 14 Oktober 2011, serangan bersenjata menewaskan 3 karyawan PT Freeport Indonesia di Tanggul Timur. Serangan kembali terjadi pada 21 Oktober 2011 dan menewaskan tiga karyawan PT Kuala Pelabuhan Indonesia (merupakan perusahaan privatisasi PT Freeport Indonesia), yang tengah bekerja di Mile 40. Hal ini berkaitan karena penduduk Papua merasakan ketidak adilan dari PT Freeport dan pemerintah.

    Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan mendapatkan perilaku yang tidak adil, beberapa penduduk Papua menghendaki adanya negara baru, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Beberapa aksi gencar diluncurkan demi mewujudkan keinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aksi yang sering mereka lakukan dalam menyampaikan aspirasinya adalah melalui mengibarkan bendera bintang kejora di berbagai wilayah Papua. Namun pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menanggapi permasalahan ini. Aparat keamanan dikerahkan untuk menjaga kesatuan negara Indonesia ini dan menindak tegas segala oknum yang ikut campur dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Sebab terjadinya berbagai konflik di Papua menurut Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin ada 4 faktor, yakni Pertama, masih adanya perbedaan persepsi masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya marjinalisasi terhadap penduduk asli Papua. Sayangnya, Hasanuddin tidak merinci bentuk marjinalisasi tersebut. Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi kendati memasuki era reformasi. Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus) yang dianggap masyarakat Papua tak jalan. Hasanuddin berpendapat semua masalah tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

    Dengan demikian masalah Otonomi Daerah dalam pelaksanaannya perlu ditinjau kembali demi pemerataan kesejahteraan bangsa ini. Pemerintah pusat mampu memberikan wewenang sepenuhnya kepada pemerintah daerah, akan tetapi tidak lepas tanggung jawab sepenuhnya dan selalu memberikan pengawasan. Dan peran seluruh masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan Otonomi Daerah yang benar sangat dibutuhkan.

    Referensi:
    • Yasni, Sedarwati. (2010). Citizenship. Bogor. Penerbit Media Aksara.
    • Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Dana Perimbangan. Sekretariat Negara. Jakarta
    • Lukmancoroners.blogspot.com. (2010). Menurut Abraham Lincoln Demokras. [online]. Available from: lukmancoroners.blogspot.com/2010/01/menurut-abraham-lincoln-demokrasi.html. [Accessed at: 23 Oktober 2011].
    • Okezone.com. (2011). Rusuh Papua Dendam yang Tak Tuntas. [online]. Available from: news.okezone.com/read/2011/10/26/337/520432/rusuh-papua-dendam-yang-tak-tuntas. [Accessed at: 26 Oktober 2011].
    • Okezone.com. (2011). Empat Permasalahan Pemicu Gejolak Papua. [online]. Available from: news.okezone.com/read/2011/10/22/337/519053/empat-permasalahan-pemicu-gejolak-papua. [Accessed at: 26 Oktober 2011].

  3. Tema   : Identitas Nasional yang mulai tersisihkan di kehidupan remaja Indonesia.

    Setiap individu tentunya berbeda dengan individu lainnya, hal ini merupakan cermin suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Tiap-tiap bangsa di dunia memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bangsa lain, ciri khas yang dimiliki suatu bangsa disebut Identitas Nasional. Menurut A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Pendidikan Kewargaan, 2011: 18), “Identitas adalah ungkapan nilai-nilai budaya suatu bangsa yang bersifat khas dan membedakannya dengan bangsa lain. Kekhasan yang melekat pada sebuah bangsa dikaitkan dengan sebutan Identitas Nasional”. Identitas Nasional ini terwujud dari perilaku kebiasaan suatu bangsa. Kebiasaan ini merupakan kesepakatan bersama yang telah diterapkan semenjak berdirinya bangsa tersebut. Identitas Nasional suatu bangsa dapat berupa kebudayaan, bahasa, ideologi, sejarah, suku bangsa, agama dan lain sebagainya.

    Bangsa Indonesia memiliki Identitas Nasional yang membuatnya berbeda dengan bangsa lain. Indonesia merupakan negara besar yang terdiri dari banyak kebudayaan, suku bangsa, dan warisan kekayaan alam yang melimpah. Sebagai upaya pemersatu negara yang memiliki banyak suku bangsa, Indonesia memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda tetapi Tetap Satu Jua”. Dengan semua keanekaragaman alam yang dimiliki Indonesia, Indonesia dijuluki sebagai “Zamrud Khatulistiwa”, hal ini didasarkan karena letak Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa dengan kekayaannya yang melimpah dari berbagai aspek. Bangsa Indonesia adalah bangsa timur, bangsa timur adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai moral dan agama. Dengan predikat sebagai negara nomor satu berpenduduk muslim terbanyak di dunia, hal ini semakin memperkuat kedudukan bangsa ini sebagai bangsa timur.

    Sebagian dari kita atau bahkan hampir semuanya tentu pernah mendengar sebuah lagu yang dipopulerkan oleh grup vokal anak-anak dengan potongan lirik sebagai berikut, “... Indonesia tercinta, orangnya ramah-ramah, gemah ripah loh jinawi...”, namun apakah saat ini lagu tersebut masih tercermin dalam benak bangsa ini. Masalah besar yang sedang dihadapi bangsa ini adalah masalah degradasi moral. Degradasi moral sebagai akibat perkembangan era globalisasi yang buruk, kurang memilah-milah dalam mengikuti perkembangannya. Tentunya dari beberapa keburukan yang ditimbulkan, yang paling mengancam bangsa ini adalah kian maraknya degradasi moral pada generasi muda, padahal generasi muda adalah tonggak bangsa dan negara ini di masa depan. Beberapa fakta berita membuat kaget bangsa dan negara ini seputar perilaku generasi mudanya. Perilaku kebarat-baratan mengikuti budaya kehidupan bangsa barat yang terkenal bebas atau liberal. Di antara penyimpangan generasi muda saat ini adalah seks bebas, narkoba, fashion, food, dan segala hal diluar norma sosial bangsa ini.

    Penyimpangan perilaku generasi muda yang paling memprihatinkan yakni penyimpangan terhadap perilaku seksual dan narkoba. Sebagian besar penyimpangan ini menimpa generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah, seperti SMP dan SMA. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai saat ini masyarakat Indonesia mengalami penurunan moralitas menyusul banyaknya remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah. Dalam kasus seks pra nikah atau seks bebas, beberapa remaja mengaku melakukan seks dengan lebih dari satu pasangan. Di beberapa daerah di Indonesia, beberapa dokter yang menangani penyakit kulit dan kelamin mengaku beberapa remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMA ada yang menemuinya untuk berkonsultasi tentang perilaku seksual, bahkan tidak jarang beberapa dokter menangani remaja yang sudah terjangkit penyakit menular seksual. Penyakit menular seksual ini ditimbulkan akibat melakukan seks menyimpang, seperti oral seks, anal seks, dan berganti-ganti pasangan. Yang dikhawatirkan dari beberapa kasus tersebut yakni kian merebaknya penyebaran virus HIV/AIDS, virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh manusia. Beberapa lembaga survei terhadap penyebaran virus HIV/AIDS mendapatkan data yang mengejutkan bahwa jumlah ODHA di Indonesia kian bertambah. Ditambah lagi menurut hasil survey KPAI, sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia pernah berhubungan seks. Kota-kota besar yang dimaksud tersebut antara lain Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Hasil survey ini tentunya sangat mengejutkan, melihat fakta yang ada tentang generasi muda saat ini. Apalagi beberapa remaja menganggap apa yang mereka lakukan itu merupakan suatu hal umum, padahal jelas hal tersebut di luar norma sosial bangsa Indonesia sebenarnya.

    Di samping permasalahan tentang seks bebas, para generasi muda juga dihadapkan dengan permasalahan narkoba yang menimpanya. Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat-obatan terlarang. Narkoba merupakan zat adiktif yang membuat penggunanya kecanduan. Walaupun narkoba juga digunakan dalam dunia medis, namun tidak sedikit dari masyarakat yang menyalahgunakannya. Narkoba seperti menjadi makanan sehari-hari bagi beberapa remaja saat ini, istilah yang mereka gunakan dalam memakai narkoba disebut “ngimeng”, dan dalam keadaan di luar akal setelah mereka menggunakan narkoba disebut “ngefly”. Beberapa cara mengonsumsi narkoba yakni dengan cara menghisap atau meminumnya. Remaja kini identik terlibat dalam masalah narkoba yang membelitnya, bahkan yang masih duduk di bangku sekolah pula. Lembaga survei Badan Narkotika Nasional (BNN) mendapatkan hasil 4,57% atau sebanyak 921 695 pelajar dan mahasiswa terlibat narkoba pada tahun 2010. Survey sebelumnya Data Badan Narkotika Nasional menyebutkan, prevalansi penyalahgunaan narkoba dalam satu tahun 2009 lebih besar dibandingkan tahun 2010 sebesar 5,7 %, sedangkan dari hasil survei BNN dan Universitas Indonesia (Ul) terhadap puluhan ribu pelajar dan mahasiswa di 33 provinsi selama kurun waktu tiga tahun terakhir, yakni 2006 – 2009, jumlah penyalahguna narkoba di lingkungan pelajar dan mahasiswa meningkat sebesar 1,4%. Angka rata-rata penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar SLTP ada sebanyak 4,2 %, SLTA 6,6 % dan mahasiswa 6,0 %. Dapat dilihat melalui data tersebut bahwa narkoba kian menjangkiti kehidupan remaja atau generasi muda Indonesia saat ini.

    Dari berbagai permasalahan yang ada tentang generasi muda, ini merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian khusus dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Yang pertama, permasalahan tentang seks bebas sebagai akibat buruk dari perkembangan era globalisasi, seperti masuknya budaya luar yang kurang bagus, internet yang disalahgunakan, kurangnya pendidikan seks yang diberikan kepada remaja. Solusi dari segala hal yang menjadi penyebab tersebut adalah perlunya pembenahan dari setiap penyebabnya. Begitu pula dalam permasalahan generasi muda dalam hal narkoba, generasi muda kerap menyalahgunakan narkoba sebagai pelampiasan akan ketidakpuasan apa yang mereka peroleh dam kehidupan. Dapat dikatakan pula penyebab terbesar dari penyimpangan seks dan narkoba adalah faktor lingkungan. Maka dari itu, pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan, pendidikan karakter untuk setiap remaja pun perlu diberikan. Peran serta dukungan setiap lapisan masyarakat Indonesia juga diperlukan untuk mewujudkan generasi muda yang bermoral, yang mampu membangun negaranya. Hingga pada akhirnya, bangsa dan negara ini mampu menjadi bangsa dan negara yang diidamkan semenjak berdirinya.

    Referensi:

    • Ubaedillah, A., Abdul Rozak. (2011). Pendidikan Kewargaan. Jakarta: Kencana, Indonesia Center For Civic Education.
    • Okezone.com. (2010). MUI: Moral Masyarakat Indonesia Menurun. [online]. Available from: news.okezone.com/read/2010/11/30/338/398639/mui-moral-masyarakat-indonesia-menurun. [Accessed at: 27 Oktober 2011].
    • Informasitips.com. (2010). 32 Persen Remaja Indonesia Pernah Berhubungan Seks. [online]. Available from: informasitips.com/32-persen-remaja-indonesia-pernah-berhubungan-seks. [Accessed at: 27 oktober 2011].
    • Mediaanakindonesia.wordpress.com. (2011). Lingkungan Remaja Narkoba, Dampak dan Pencegahannya. [online]. Available from: mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/03/01/lingkungan-remaja-narkoba-dampak-dan-pencegahannya. [Accessed at: 27 Oktober 2011].